Rabu, 20 Oktober 2010

sang pahlawan

Kalau anda orang Indonesia, tentunya merupakan suatu kebanggaan tersendiri melihat nama "Budi Soehardi" ada di dalam satu deretan nama 10 finalist CNN HERO 2009. Selama ini, berita di luar negri selalu menayangkan berbagai bencana dan malapetaka yang terjadi di tanah air dan mau tidak mau kita ikut sedih dan bertanya-tanya: apakah hanya berita buruk yang menjadi 'top news' dari tanah air? Tetapi, awal musim gugur tahun ini, ada berita baik dari tanah air yang ditayangkan CNN, yaitu tentang dedikasi Mas Budi Soehardi dan keluarganya. Mari kita lihat lebih dekat lagi siapa dan apa yang mas Budi dan keluarga lakukan selama ini.

Terlahir di Jogyakarta tanggal 31 Agustus 1956, mas Budi menyelesaikan TK, SD, SMP dan SMAnya di sekolah Bopkri ( Badan Oesaha Pendidikan Kristen Indonesia). Setelah itu, melanjutkan kuliah sebentar ( 3 bulan) di Sanatha Dharma Jogja. Setelah itu, mas Budi berangkat ke Sydney, Australia untuk belajar penerbangan. Setelah lulus, mas Budi menjadi Pilot Garuda Indonesia selama 5 tahun dan berhasil melanjutkan kuliahnya pada waktu yang bersamaan, pagi terbang sore kuliah ekonomi di Universitas Krisna Dwipayana sampai selesai. Setelah itu, bergabung dengan penerbangan Internasional Singapore Airlines sejak April 1998.

Mas Budi senang menyanyi, ini dimulai sejak di bangku sekolahan dan juga di gereja.

Dalam kegiatan luangnya, mas Budi senang bertanam, menanam dan memelihara tanaman bunga atau buah-buahan dan rupanya kesenangan yang dilakukan secara tekun bersama keluarganya, yang nantinya akan menghasilkan berkat bagi orang lain, terutama bagi anak-anak didiknya.

Pada tahun 2000, mas Budi beserta ibu Peggy, istrinya yang selalu dengan setia mendukung kegiatan sosial mas Budi, mengunjungi anak-anak korban kerusuhan di Timor-Timur setelah mereka melihat berita di TV. Singkat cerita, mereka tidak jadi berlibur tetapi memutuskan untuk mengunjungi anak-anak tersebut dengan membawa keperluan sehari-hari dan atas bantuan berbagai pihak yang tergerak hatinya, mereka berhasil menjangkau anak-anak yang membutuhkan bantuan saat itu.

Dari pengalaman perjalanan tersebut, mereka tergerak hatinya dan menyewa rumah untuk menampung anak-anak yang kehilangan orang tua pada masa pergejolakan/ pemisahan Timor-Timor dari Indonesia. Karena bertambahnya kebutuhan dan jumlah anak-anak, akhirnya mereka bersepakat menjalankan sebuah panti asuhan dengan membangun sebuah gedung. Panti asuhan ini diberi nama Roslin, diambil dari dua nama nenek asal Timor-Timur: Rosalind dan Violin, yang ibu Peggy kenal sejak kanak-kanak, merekalah yang memberi nasehat untuk selalu berbuat kebaikan.

Kenyataannya, mendirikan sebuah panti asuhan tidaklah semudah yang dibayangkan orang, banyak hal yang komplex yang harus dipertimbangakan secara matang. Sampai saat ini, mas Budi beserta istrinya menjalankan panti asuhan tersebut secara mandiri, tidak mengandalkan pendanaan, tetapi hanya dari sumbangan orang-orang yang tergerak hatinya untuk membantu. Saat ini, panti asuhan Roslin sudah swasembada beras karena mas Budi dan keluarga berhasil menanam padi sendiri, beserta tanaman buah-buahan di sekitar lahan panti asuhan.

Pada awalnya, visi dan misi bapak tiga orang anak ini adalah memberikan pendidikan pada anak-anak yatim piatu Roslin yang nantinya akan memperbaiki keadaan daerah yang miskin, terutama dimana mereka tinggal. Dengan memberikan pendidikan dan persiapan hidup yang memadai pada anak-anak tersebut, merekalah nantinya yang akan membangun daerahnya secara mandiri. Dengan bekal 'ora et labora' – doa, ketekunan dan kesabaran, kita tentunya berharap cita-cita tersebut akan terealisir di kemudian hari.
Panti asuhan ini terletak di daerah Kupang yang terpencil, di mana dunia luar tidak pernah tahu keberadaannya dan apa yang mas Budi dan keluarga telah lakukan selama ini. Usaha dan jerih payah mas Budi dan keluarga mendapat spotlight dunia internasional, setelah Tina Vanderpol, temannya mas Budi dari Canada datang ke panti asuhan Roslin pada bulan April dan July y.b.l.

Tina yang membuatkan Facebook panti asuhan Roslin dan Grace Ong, anak dari Wendy (kawannya mas Budi yang lainnya) membaca Facebook Roslin tersebut dan menulis tentang kegiatannya mas Budi ke CNN. Setelah itu, CNN menghubungi mas Budi dan diwawancari di LA selama kurang lebih tiga jam saat mas Budi berada di sana, lalu dilanjutkan interview tersebut di NY central Park selama 2 jam. Disamping itu, dilakukan shooting di tempat mas Budi bekerja, saat berangkat kerja di NY dan masih dilanjutkan shooting di panti asuhan selama tiga hari.

Sekuritinitas seperti ini selalu dijalankan CNN, karena cerita dan kenyataan harus sejalan dan dilihat secara gamblang; hal ini tentunya menyangkut credibilitas CNN.
Dengan ditayangkannya cerita tersebut di CNN dan dicalonkannya mas Budi sebagai salah satu CNN Heroes tahun ini, berita tentang kegiatan mas Budi dan panti asuhannya "go public/ go international".



dikutip kembali dari
baltyra.com

bisa diliat lebih lanjut . . .
www.cnn.com/heroes
http://www.youtube.com/watch?v=8piacipZ5wU

Fotografer [pun] ‘Pahlawan Kemerdekaan’

Banyak ngga pada nyangka. Kalo kemerdekaan kita ternyata nda lepas dari perjuangan kite kite ini. Fotografer jek. Bangga lah kite kite, hihihi. Kenapa engga. Dulu jurnalis foto bersama jurnalis tulis berjuang tanpa pamrih bro, No amplop loh, tuing tuing, hehehehe.
Mereka nulis dan jepret beberapa kejadian penting. Meski resikonya, dikejar tentara Nippon. Dan termasuk bisa-bisa dimata-matai oleh orang Indonesia sendiri yang dibayar. Adyuh.
Tragisnya lagi, tulisan dan foto-foto tersebut ntah mau dimuat dimana. Beda tipis ama WTS, wartawan tanpa surat kabar, heheheh. Karena hampir semua media saat itu emang dikuasai oleh Jepang.
Hampir tidak ada media yang bisa menyuarakan yang berbau lokal. Apalagi beritanya yang rada sensitive. Jepang ngonci rapat benget. Meski gitu, anak-anak Indonesia yang merindukan kemerdekaan, ngga habis akal. Mereka bisa memanfaatkan celah yang sebegitu sempit. Mereka ‘bergerilya’. Alhasil, lahirlah jurnalis-jurnalis kawakan nun tangguh.
Sebut saja misalnya RM Soetarto yang juga sineas dan bekerja sebagai fotografer di Nippon Eiga Sha. Dia berani menodongkan senjata kepada atasannya untuk mendapatkan kamera dan film. kita kita orang orang berani kaga yah ?
Belum lagi Sayuti dan Abdoel Kadir harus bergantian satu kamera Contax yang berhasil mereka ‘ambil’ dari Kantor Berita Domei.
Dan yang paling fenomenal adalah peristiwa jepretan Alex Mendur di Pengangsaan 56. Peristiwa jam 10 pagi 17 Agustus 1945. Dan dia rekam sangat apik. Meski hanya dengan film terbatas sekali. Cuma punya 3 negatif film. Ajaib. Alex merekam tiga peristiwa secara menakjubkan 17 Agustus 1945 secara fantastis. Jepretan tersebut adalah foto peristiwa pembacaan teks proklamasi, foto penaikkan bendera dan foto undangan. Semua frame kepake. Bandingin dengan jaman digital sekarang. Boros banget framenya kita kita.
Lucunya, di tempat peristiwa itu, tidak ada sama sekali kemeriahan. Sepi sekali dan hanya dihadiri beberapa orang saja. Alex bersama Frans waktu itu menongkrongi peristiwa ini dari jam 5 pagi. Subuh sekali. Apakah kita kita juga gini setia nongkrongi momen. Alhasil, jepretannya sampe sekarang kita bisa lihat di beberapa buku sejarah.
Yang menarik, Alex saat itu masih bekerja pada Kantor Berita Domei, milik Jepang. Gue bisa bayangkan, Alex saat itu pastilah dalam tekanan luar biasa. Benar juga, setelah kejadian itu Jepang memburu semua pelaku-pelakunya. Termasuk Alex dan Frans. Padahal sebenarnya Jepang sudah kalah perang saat itu. Ironisnya, hanya segelintir saja orang Indonesia yang tahu kalo Jepang sudah kalah perang. Betapa miskinnya informasi saat itu. Bayangkan kalo ada facebook kala itu, hahahaha.
Nah, mengetahui betapa pentingnya hasil jepretan, Alex dengan bantuan adiknya Frans berhasil menyembunyikan klise tersebut. Pinter juga ini orang.
Dalam proses menjadikan peristiwa tersebut untuk menjadi sebuah foto. Juga mengalami perjalanan panjang. Jepang menghalang-halangi. Karena semua teknologi proses film hanya Jepang yang punya. Salah satunya di tempat Alex bekerja. Kantor Berita Domei. Alhasil, Alex harus secara bersembunyi-sembunyi memprosesnya.
Alex melakukannya dengan menyusup pada tengah malam dan harus manjat pohon untuk melewati pagar kantor tersebut. Setelah diproses dan dicetakpun. Klise dan foto tersebut juga tetap ngga bisa diperlihatkan pada orang lain. Apalagi kalo dimuat. Bisa-bisa Alex dipenjara ato malah-malah dibunuh.
Foto-foto ini pun akhirnya berhasil dipublis ke umum setelah setelah Alex dan BM Diah bersama teman-temannya mendirikan Surat Kabar Merdeka. Itupun setelah terbentuknya surat kabar ini, tidak langsung memuatnya.
Foto ini baru dimuat di bulan Februari 1946 padahal surat kabar Merdeka sendiri didirikan 1 Oktober 1945. Lebih kurang setengah tahun foto ini ‘tidak bicara’. Tersimpan dan hanya beberapa kalangan saja yang mungkin tau. Sungguh sebuah perjuangan yang memerlukan kesabaran dan strategi luar biasa.
Buat Alexius Impurung Mendur (1907-1984) dan Frans Soemarto Mendur (1913-1971), perjuangan ini nda sampai disitu saja. Bersama Justus Umbas, Frans Umbas, Alex Mamusung, Oscar Ganda tanggal 2 Oktober 1946 mereka mendirikan Kantor Berita Foto IPPHOS (Indonesia Press Photo Service). Perjuangan mulia mereka pun terealisasi. Menyebar luaskan foto perjuangan melalui media lokal dan internasional. Mulia dan keren banget kan. Peristiwa mulai dari perpindahan ibukota Negara dari Jakarta ke Yogya, Sidang Kabinet 1, foto-foto eklusif Bung Karno berikut Jendral Besar Sudirman sampai pemberontakan PKI Madiun 1948, mereka jepret secara apik. Dan bahkan lebih banyak lagi peristiwa lainnya.
Dua Mendur saudara ini emang dua pribadi yang unik. Meski mereka datang dari kaum minoritas. Suku Minahasa dan Kristen pula. Tidak menjadi halangan buat mereka. Frans Mendur yang lebih menyukai dunia jurnalistik ‘jalanan’ sedangkan Alex Mendur lebih banyak bergaul di kalangan tokoh-tokoh besar. Dunia lingkungan jurnalistik yang sangat berbeda. Di satu sisi, Frans yang terbiasa meliput kehidupan rakyat jelata sementara kakaknya, Alex ada di kalangan pejabat Belanda dan Indonesia yang lingkungannya formal dan cukup terhormat. Hingga akhirnya Alex banyak mendapat sorotan. Alex dibilang wartawan yang bermuka dua. Tragis banget.
Meski gitu, IPPHOS tetap memilih jalur independen. Hingga resikonya mereka harus berjuang mencari pendanaan kantor berita ini. Beberapa kali juga mereka mendapat razia dari pihak Belanda yang terkadang hingga menghilangkan data-data penting.
Alex dan Frans, emang manstap. Dua orang yang mengukir sejarah lewat jepretan mereka.
Nah sekarang balek kite de. Apa yg uda kita lakukan dengan kamera kita. Saya sendiri mengalami peristiwa reformasi 1998. Dan juga ikut merekam. Dan bahkan ikut ‘ribut’ ama aparat, wkwkwkwkw
Betapa sebenarnya siapapun kita bisa menjadi saksi. Bisa juga jadi pelaku. Tinggal pilih da. Namun, sebagai fotografer bisakah kita menjadi history maker seperti dua Mendur bersaudara ini ? Yuk jawab buruaaaaaaaan, hehehe. Piss man . . .

Peter Julio Tarigan diolah dari berbagai sumber

Ironis. Frans Mendur, Fotografer Proklamasi RI. Dianggap Tak Layak Dimakamkan di TMP Kalibata

Makin hari kok hati gw makin gusar. Ada apa dengan negeri yang kusayang dan kucintai ini. Bangsa yang besar adalah bangsa yang menghargai pahlawannya . . . Inikah buktinya ? 

Dimana hati kita, ketika melihat sosok yg berjasa bagi negeri ini. Didiamkan begitu saja. Senyap sekali. Ngga bisa gw bayangin kalo tanpa ada Pak Frans kala kemerdekaan kita. 17 Agustus 1945, hanya kaya tanggalan biasa ajah. Mungkin bisa aja kita bilang Soekarno Hatta pembohong belaka. Wong kaga ada bukti gambarnya . . .

Hari ini kita diingatkan kembali untuk mengenang salah seorang yang punya andil besar bagi kemerdekaan negara ini. Frans Mendur. Seorang fotografer yang punya hati buat kemerdekaan bangsanya. Apapun alasannya, waktunya Pak Frans Mendur beserta Alek Mendur diberikan penghargaan yang layak oleh negeri ini.
Saya sungguh menyayangkan betapa pemerintah terlalu 'menyepelekan' profesi ini [Baca lebih lengkap di note saya sebelumnya] 

Hari ini saya makin memberanikan diri.
Lewat blog ini, saya BERTERIAAAAAAAAAAK, 

Kami juga PAHLAWAN !!!!!!!!!!Kami juga PAHLAWAN !!!!!!!!!!!Kami juga PAHLAWAN!!!!!!!

Pak Susilo Bambang Yudhono yang terkasih, waktunya bapak memberikan salam hangat kepada kami. 

Berikan salam itu kepada mereka, Frans Mendur dan Alek Mendur


Hormat saya yang besar bapak bapak pemimpin negeri ini. 
Ingat, kursi empuk, AC yang dingin, pengawal pribadi, kaga pernah kena lampu merah dan macet, telfon gratis, listrik gratis, seketaris gratis, dokter gratis, rumah gratis, gaji besar. Masih banyak lagi yang gratis. Tak lepas ada andilnya pak Frans dan Alek Mendur . . . 
Waktunya kita memberi hormat sekarang . . . .


biar lebih mengiang di telinga kita ::
http://www.youtube.com/watch?v=HodEYxD5AVA

dikutip dari ::
Thursday, 10 September 2009 11:00
link sumber ::
http://mdopost.com/news2009/index.php?option=com_content&view=article&id=5398%3Afrans-mendur-fotografer-proklamasi-ri-3selesai-&catid=34%3Aberita-utama&Itemid=53




foto naskah proklamasi yg dibacain . . .
foto ini bukti otentik Indonesia uda merdeka . . . sang dwi warna berkibar . . .


Mulai 14 Agustus hingga 14 September 2009 nanti, digelar pameran foto Proklamasi Kemerdekaan RI hasil karya dua putra Kawanua Frans Soemarto Mendur dan Alex Impurung Mendur pada 62 tahun lalu. Lantas siapa kakak beradik ini?

FRANS Soemarto Mendoer lahir pada tahun 1913. Frans Mendoer merupakan putra asal Kawangkoan Minahasa. Frans belajar cara memotret kepada kakak kandungnya sendiri, Alex, yang kala itu menjadi wartawan foto Java Bode, koran berbahasa Belanda yang berkedudukan di Jakarta. Lambat laun, karena menyukai dunia fotografi, Frans menjadi wartawan foto pada tahun 1935.
Frans dan Alex adalah dua fotografer bersaudara yang menggagas pembentukan Indonesia Press Photo Service, atau yang kemudian disingkat IPPHOS. Dengan mengajak beberapa kawan, di antaranya kakak-beradik Justus dan Frank Umbas, Alex Mamusung, dan Oscar Ganda, mereka secara resmi mendirikan kantor berita IPPHOS pada 2 Oktober 1946.
Dengan adanya kantor berita itu, minat Frans terhadap dunia fotografi semakin tersalurkan. Dari kepiawaiannya memainkan kamera, terabadikanlah foto-foto para tokoh penting bangsa ini, seperti Panglima Besar Soedirman, presiden pertama RI Soekarno, Wapres M Hatta, Amir Sjarifuddin, Sutan Sjahrir, Sayuti Melik, dan lain-lain.
Salah satu foto kehidupan Soekarno sehari-hari yang sempat didokumentasikan oleh Frans yakni foto saat Soekarno tengah menyaksikan para sopir kepresidenan mereparasi mobil. Ada juga foto momen-momen penting saat Soekarno mengumumkan kabinet pertamanya di bulan September 1945.
Frans juga sempat memotret mimik muka mantan Perdana Menteri Amir Syarifuddin yang tengah larut dalam perasaan emosional saat membaca buku tragedi Romeo and Juliet karya Shakespeare di atas gerbong yang membawanya ke hadapan regu tembak.
Bahkan, pada masa-masa revolusi fisik dulu, Frans juga banyak mengabadikan suasana Kota Jakarta, misalnya foto tulisan “Merdeka atau Mati” atau “Freedom or Death” yang banyak terdapat di tembok-tembok bangunan kala itu.
Dari sisi fotografi, apa yang dilakukan Frans Mendoer dan rekan-rekannya di IPPHOS bukan saja menjauhkan suasana kaku dan berjarak yang sangat terasa pada fotografi zaman Hindia-Belanda, tapi juga menghilangkan segala bentuk diskriminasi sosial. Pada hasil-hasil bidikan kamera mereka, manusia Indonesia sengaja ditonjolkan tampak hidup, tersenyum, bahkan berdiri tegap berdampingan dengan manusia-manusia dari belahan bumi lainnya. Frans dan rekan-rekannya di IPPHOS sengaja menampilkan foto manusia-manusia Indonesia yang tidak lagi hanya menjadi “piguran”, tapi menjadi sosok utama yang menjadi pusat perhatian. Bidikan kamera-kamera mereka telah mampu menyajikan wajah bangsa Indonesia pada kurun 1945-1949 dalam nuansa yang lain, yakni nuansa pergerakan.

TETAP IDEALIS
Orang-orang IPPHOS, terutama Frans Mendoer dan Alex Mendoer, sudah berperan sentral sebelum lembaga itu resmi berdiri. Rasa kebangsaan mereka pun telah teruji. Ketika rakyat Indonesia menjadi bangsa yang merdeka dan bebas menentukan masa depannya, para fotografer IPPHOS tetap idealis, sebuah pilihan yang sangat sulit dijalani. Sebab, jika mau, kehidupan Frans Mendoer sebenarnya bisa lebih terjamin dengan bekerja di media luar negeri. Hal itu sebenarnya sangat gampang dilakukan oleh Frans, mengingat nama Mendoer sebagai fotografer andal sudah terkenal ke mana-mana.
Selain itu, Frans dan Alex Mendoer juga sering meliput kondisi pergerakan kebangsaan di tiap negara Asia yang disorot publik dunia. Hal itu membuat keberadaan mereka sangat diperhitungkan oleh media-media asing. Apalagi, keluarga Mendoer berasal dari etnis Minahasa yang dianggap dekat dengan bangsa Belanda. Namun, atas nama bangsa, Frans tetap setia dalam pangkuan ibu pertiwi Republik Indonesia. Ia tetap mengabdikan dirinya bagi Republik Indonesia. Hebatnya lagi, IPPHOS juga tetap media independen.
Pada 1946, situasi dan keamanan Jakarta semakin gawat. Hal itu memaksa Soekarno-Hatta memindahkan pusat pemerintahan ke Yogyakarta. IPPHOS pun bersedia membuka kantor cabang di ibu kota RI kedua itu dan Frans Mendoer menjadi penanggungjawabnya.
Di Yogyakarta, semua hasil jepretan Frans saat meliput suasana perang dan kehidupan rakyat di tengah tekanan Belanda, menjadi kartu sakti perjuangan Republik Indonesia di forum internasional. Salah satu karya monumental Frans adalah foto penyambutan Panglima Besar Jenderal Soedirman oleh Letnan Kolonel Soeharto dan Rosihan Anwar di Stasiun Tugu atas perintah Raja Yogyakarta, Sri Sultan Hamengkubuwono IX.
Frans meninggal dunia pada 24 April 1971 di Rumah Sakit Sumber Waras Jakarta. Dalam berita yang dimuat harian Pedoman tertulis bahwa tidak banyak wartawan yang mengantar jenazah Frans Soemarto Mendoer ke makamnya. Bahkan, meskipun jasanya bagi bangsa ini sangat besar, Frans dianggap tidak memenuhi syarat untuk dimakamkan di Taman Makam Pahlawan Kalibata. Sungguh sangat ironis. (myw/dari berbagai sumber)



salam hangat saya,
peterjulio_tarigan@yahoo.com
wedding photojournalism