Rabu, 20 Oktober 2010

Fotografer [pun] ‘Pahlawan Kemerdekaan’

Banyak ngga pada nyangka. Kalo kemerdekaan kita ternyata nda lepas dari perjuangan kite kite ini. Fotografer jek. Bangga lah kite kite, hihihi. Kenapa engga. Dulu jurnalis foto bersama jurnalis tulis berjuang tanpa pamrih bro, No amplop loh, tuing tuing, hehehehe.
Mereka nulis dan jepret beberapa kejadian penting. Meski resikonya, dikejar tentara Nippon. Dan termasuk bisa-bisa dimata-matai oleh orang Indonesia sendiri yang dibayar. Adyuh.
Tragisnya lagi, tulisan dan foto-foto tersebut ntah mau dimuat dimana. Beda tipis ama WTS, wartawan tanpa surat kabar, heheheh. Karena hampir semua media saat itu emang dikuasai oleh Jepang.
Hampir tidak ada media yang bisa menyuarakan yang berbau lokal. Apalagi beritanya yang rada sensitive. Jepang ngonci rapat benget. Meski gitu, anak-anak Indonesia yang merindukan kemerdekaan, ngga habis akal. Mereka bisa memanfaatkan celah yang sebegitu sempit. Mereka ‘bergerilya’. Alhasil, lahirlah jurnalis-jurnalis kawakan nun tangguh.
Sebut saja misalnya RM Soetarto yang juga sineas dan bekerja sebagai fotografer di Nippon Eiga Sha. Dia berani menodongkan senjata kepada atasannya untuk mendapatkan kamera dan film. kita kita orang orang berani kaga yah ?
Belum lagi Sayuti dan Abdoel Kadir harus bergantian satu kamera Contax yang berhasil mereka ‘ambil’ dari Kantor Berita Domei.
Dan yang paling fenomenal adalah peristiwa jepretan Alex Mendur di Pengangsaan 56. Peristiwa jam 10 pagi 17 Agustus 1945. Dan dia rekam sangat apik. Meski hanya dengan film terbatas sekali. Cuma punya 3 negatif film. Ajaib. Alex merekam tiga peristiwa secara menakjubkan 17 Agustus 1945 secara fantastis. Jepretan tersebut adalah foto peristiwa pembacaan teks proklamasi, foto penaikkan bendera dan foto undangan. Semua frame kepake. Bandingin dengan jaman digital sekarang. Boros banget framenya kita kita.
Lucunya, di tempat peristiwa itu, tidak ada sama sekali kemeriahan. Sepi sekali dan hanya dihadiri beberapa orang saja. Alex bersama Frans waktu itu menongkrongi peristiwa ini dari jam 5 pagi. Subuh sekali. Apakah kita kita juga gini setia nongkrongi momen. Alhasil, jepretannya sampe sekarang kita bisa lihat di beberapa buku sejarah.
Yang menarik, Alex saat itu masih bekerja pada Kantor Berita Domei, milik Jepang. Gue bisa bayangkan, Alex saat itu pastilah dalam tekanan luar biasa. Benar juga, setelah kejadian itu Jepang memburu semua pelaku-pelakunya. Termasuk Alex dan Frans. Padahal sebenarnya Jepang sudah kalah perang saat itu. Ironisnya, hanya segelintir saja orang Indonesia yang tahu kalo Jepang sudah kalah perang. Betapa miskinnya informasi saat itu. Bayangkan kalo ada facebook kala itu, hahahaha.
Nah, mengetahui betapa pentingnya hasil jepretan, Alex dengan bantuan adiknya Frans berhasil menyembunyikan klise tersebut. Pinter juga ini orang.
Dalam proses menjadikan peristiwa tersebut untuk menjadi sebuah foto. Juga mengalami perjalanan panjang. Jepang menghalang-halangi. Karena semua teknologi proses film hanya Jepang yang punya. Salah satunya di tempat Alex bekerja. Kantor Berita Domei. Alhasil, Alex harus secara bersembunyi-sembunyi memprosesnya.
Alex melakukannya dengan menyusup pada tengah malam dan harus manjat pohon untuk melewati pagar kantor tersebut. Setelah diproses dan dicetakpun. Klise dan foto tersebut juga tetap ngga bisa diperlihatkan pada orang lain. Apalagi kalo dimuat. Bisa-bisa Alex dipenjara ato malah-malah dibunuh.
Foto-foto ini pun akhirnya berhasil dipublis ke umum setelah setelah Alex dan BM Diah bersama teman-temannya mendirikan Surat Kabar Merdeka. Itupun setelah terbentuknya surat kabar ini, tidak langsung memuatnya.
Foto ini baru dimuat di bulan Februari 1946 padahal surat kabar Merdeka sendiri didirikan 1 Oktober 1945. Lebih kurang setengah tahun foto ini ‘tidak bicara’. Tersimpan dan hanya beberapa kalangan saja yang mungkin tau. Sungguh sebuah perjuangan yang memerlukan kesabaran dan strategi luar biasa.
Buat Alexius Impurung Mendur (1907-1984) dan Frans Soemarto Mendur (1913-1971), perjuangan ini nda sampai disitu saja. Bersama Justus Umbas, Frans Umbas, Alex Mamusung, Oscar Ganda tanggal 2 Oktober 1946 mereka mendirikan Kantor Berita Foto IPPHOS (Indonesia Press Photo Service). Perjuangan mulia mereka pun terealisasi. Menyebar luaskan foto perjuangan melalui media lokal dan internasional. Mulia dan keren banget kan. Peristiwa mulai dari perpindahan ibukota Negara dari Jakarta ke Yogya, Sidang Kabinet 1, foto-foto eklusif Bung Karno berikut Jendral Besar Sudirman sampai pemberontakan PKI Madiun 1948, mereka jepret secara apik. Dan bahkan lebih banyak lagi peristiwa lainnya.
Dua Mendur saudara ini emang dua pribadi yang unik. Meski mereka datang dari kaum minoritas. Suku Minahasa dan Kristen pula. Tidak menjadi halangan buat mereka. Frans Mendur yang lebih menyukai dunia jurnalistik ‘jalanan’ sedangkan Alex Mendur lebih banyak bergaul di kalangan tokoh-tokoh besar. Dunia lingkungan jurnalistik yang sangat berbeda. Di satu sisi, Frans yang terbiasa meliput kehidupan rakyat jelata sementara kakaknya, Alex ada di kalangan pejabat Belanda dan Indonesia yang lingkungannya formal dan cukup terhormat. Hingga akhirnya Alex banyak mendapat sorotan. Alex dibilang wartawan yang bermuka dua. Tragis banget.
Meski gitu, IPPHOS tetap memilih jalur independen. Hingga resikonya mereka harus berjuang mencari pendanaan kantor berita ini. Beberapa kali juga mereka mendapat razia dari pihak Belanda yang terkadang hingga menghilangkan data-data penting.
Alex dan Frans, emang manstap. Dua orang yang mengukir sejarah lewat jepretan mereka.
Nah sekarang balek kite de. Apa yg uda kita lakukan dengan kamera kita. Saya sendiri mengalami peristiwa reformasi 1998. Dan juga ikut merekam. Dan bahkan ikut ‘ribut’ ama aparat, wkwkwkwkw
Betapa sebenarnya siapapun kita bisa menjadi saksi. Bisa juga jadi pelaku. Tinggal pilih da. Namun, sebagai fotografer bisakah kita menjadi history maker seperti dua Mendur bersaudara ini ? Yuk jawab buruaaaaaaaan, hehehe. Piss man . . .

Peter Julio Tarigan diolah dari berbagai sumber

Tidak ada komentar:

Posting Komentar